Sentajo, Sensasi Dari Zaman Baheula

Rumah Godang suku Caniago
SENSASI zaman baheula menyergah hati jika menginjakkan kaki di kawasan Cagar Budaya Kenegerian Sentajo, Desa Koto Sentajo, Kecamatan Sentajo Raya, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Provinsi Riau. Sebanyak 24 rumah yang berdiri sejak sekitar 197 tahun silam masih kokoh. Rumah Godang namanya. Adalah saksi bisu keharmonisan kehidupan empat suku tetap terjaga hingga zaman kekinian.

Rombongan Safari Jurnalistik 'Menggali dan Menumbuhkembangkan Potensi Wisata Kuantan Singingi untuk Membangun Riau ke Depan', yang dimotori Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Riau sempena Hari Pers Nasional (HPN), menginjakkan kaki di kawasan Cagar Budaya Kenegerian Sentajo pada Minggu, 1 Mei 2016.

Kawasan Cagar Budaya Kenegerian Sentajo adalah satu dari 51 obyek wisata alam, agrowisata, budaya, sejarah dan religi yang dimiliki Kuansing. Lokasinya hanya sekitar 7 kilometer atau sekitar 15 menit perjalanan menggunakan kendaraan darat dari Ibukota Kuansing, Teluk Kuantan.

Dari jendela bus rombongan, terlihat beberapa masyarakat Sentajo sudah berkumpul menyambut kedatangan kami. Rasa kekeluargaan dan keramahan warga lokal terhadap pendatang begitu menyenangkan ketika baru menginjakkan kaki di tanah wisata cagar budaya ini.

BACA: Surga itu Bernama Guruh Gemurai

Sensasi semakin dalam karena hanya sekitar 200 meter setelah melewati gapura selamat datang, suasana perkampungan tempo dulu sangat terasa. Jembatan kecil dan aliran air anak sungai yang jernih menambah eksotisme kawasan cagar budaya.

Hanya 10 meter dari jembatan itu, ada pula sebuah Jalur, perahu panjang yang terbuat dari kayu. Jalur semacam itu bisa dilihat saat lomba Pacu Jalur bertaraf nasional yang setiap tahun digelar di Tepian Narosa, Teluk Kuantan.

Masih di area yang sama, ada semacam arena tarung berpagar kayu yang disebut Sosoran. Sosoran digunakan untuk pertunjukan seni bela diri Pencak Silat usai Shalat Tarawih saat Ramadhan dan di hari kedua Hari Raya Idul Fitri. Beruntung, kami disuguhi pertunjukan Silat oleh para 'jawara' Pendekar Bertuah.

silat pendekar bertuah
Jika berjalan lebih jauh, kita seolah dibawa mundur ke ratusan tahun yang lalu. Rumah-rumah panggung berjejer rapi. Saat menyusuri barisan rumah panggung, sensasi lain dapat dirasakan karena sayup-sayup suara musik tradisional Calempong terdengar. Musik itu biasanya hanya bisa dinikmati pada saat upacara adat saja.

Selain rumah panggung biasa, di kawasan cagar budaya ini terdapat 24 rumah panggung paling istimewa, yakni Rumah Godang Adat Suku, yang menjadi saksi keharmonisan empat suku selama ratusan tahun di Sentajo.

"Ke-24 Rumah Godang itu dibangun sekitar tahun 1819 hingga 1925. Ada empat suku adat yang menempati masing-masing Rumah Godang, yaitu Paliang, Melayu, Caniago dan Patopang," kata salah satu tokoh masyarakat Sentajo, Fahmilus.

Pria yang akrab disapa Milus itu mengungkapkan, Suku Melayu memiliki empat Rumah Godang, Paliang enam, Caniago tiga dan Pitopang lima. Rumah Godang, menurut Milus, berfungsi untuk membicarakan segala permasalahan, seperti kenakalan remaja dan adat pernikahan.

Ornamen Rumah Godang masih asli dengan ciri khas masa lalu. Bentuk bangunan pun dikemas unik gaya panggung dengan tiang sebagai penyangga. Sebagian Rumah Godang masih dihuni pewaris atas strata adat masing-masing suku. Lokasinya terletak di dataran tinggi dikelilingi sawah dan tasik.

Berdirinya Rumah Godang tak lepas dari sejarah panjang Kenegerian Sentajo, pada masa lalu sebagai pusat di antara desa-desa di masing-masing kenegerian atau desa tertua. Artinya, berbagai aktivitas, baik pemerintahan, keagamaan, budaya, perekonomian berpadu dan bertumpu di kenegerian ini.

Di salah satu Rumah Godang milik Suku Caniago, warga Sentajo sudah berkumpul menyambut kedatangan kami. Penyambutan dilakukan layaknya tamu kehormatan. Kearifan lokal masih tetap terjaga di Sentajo.

Cara penjamuan tamu masih kental adat masa lalu. Sebelum mempersilakan tamu memakan hidangan misalnya, ada adab atau etikanya. Para Mamak akan melakukan pasambahan, di tengah-tengah kami, ada pula Carano terbuat dari kuningan yang berisi sirih, pinang, kapur dan gambir.

"Mempersilakan makan untuk tamu tidak langsung, ada persembahan, masyarakat Sentajo menyebutnya pasambahan. Jadi untuk menyantap hidangan dari tuan rumah tidak bisa langsung menyicipi makanan. Harus ada kata persilakan melalui pasambahan," kata Milus.

Adab berumah tangga juga wajib dijalankan bagi masyarakat Sentajo. Pengantin laki-laki sebelum melangsungkan pernikahan akan mendapat gelar adat, seperti Malin. Jadi jika seorang mertua memanggil menantunya sebutan nama asli, etika sang mertua akan dipertanyakan.

"Dalam pernikahan di Sentajo juga sangat melarang nikah satu suku. Pelaku nikah sesuku akan diberi sanksi sesuai adat, yaitu dibuang ke bukit tidak berangin, ke lurah tidak berair. Artinya, pasangan ini harus diusir dari kampung dan tidak boleh kembali lagi," tutur Milus.

Adat yang masih dipegang sejak ratusan tahun itu tak lepas dari upaya masyarakat mengingat sejarah. Ada sejarah panjang yang tak mungkin dilupakan begitu saja.

Milus menceritakan sejarah itu. Kenegerian Sentajo adalah negeri tua di Kuansing. Jika dikilas balik, dulunya Negeri Kuantan memiliki Kerajaan Kandis. Letaknya di Lubuk Jambi. Pembesar Kerajaan Kandis ini adalah Datuk Simambang dari Sentajo, Datuk Bandaro Lelo Budi dari Kari dan Datuk Pobo dari Koban.

"Karena terjadi sesuatu hal, pada waktu itu sebelum Masehi, Kerajaan Kandis tercerai-berai. Ada sebagian yang mengatakan bahwa saat itu ada pemberontakan Kerajaan Kancil Putih, Kerajaan Koto Alang dan sebagainya, maka datuk-datuk berpindah-pindah dan mendirikan kerajaan di Desa Kari yang sekarang berada di Kecamatan Kuantan Tengah, Desa Sintuo seberang Teluk Kuantan, kemudian pindah ke Sentajo dan pernah juga berada di Inuman," kisah Milus.

Ia menyebutkan, dulu ada Balai Bungo Setangkai di Desa Sentajo. Balai itu menjadi tempat berunding tiga datuk. "Jadi, sebelum Masehi, Sentajo ini sudah ada. Agama di Sentajo waktu itu adalah Hindu. Buktinya ketika akan membaca doa ada istilah 'api diambiak kamonyan dibakar'. Ketika masuk Islam, pengaruh Hindu mulai hilang," jelasnya.

Seiring perkembangan zaman, Belanda masuk dan melahirkan kesepakatan untuk melakukan pemerintahan di Kenegerian Sentajo dengan komando oleh Penghulu Nan Berempat, karena di Sentajo ada empat suku adat: Paliang, Melayu, Caniago dan Patopang. Masing-masing pucuk pimpinan itu dipegang oleh penghulu. Kemudian dibantu oleh Monti (Menteri), Dubalang (Pagar Nagori) yang menjalankan undang-undang dan ada Tuo Kampuang.

Pengaruh zaman pun turut mengubah keyakinan masyarakat Sentajo, dulu. Pada tahun 1834, didirikanlah sebuah masjid yang masih utuh sampai sekarang. Masjid Usang, yang kini bernama Masjid Raudhatul Jannah menjadi saksi sejarah panjang peradaban masyarakat Sentajo. Menengok ke arah kanan jika keluar dari Rumah Godang Suku Caniago, ada sebuah masjid tua yang masih kokoh. Itulah Masjid Usang.

"Artinya, Sentajo dulunya tidak ada desa. Adanya desa sejak zaman Presiden Soeharto, di situlah orang adat kita peranannya agak tersisih. Apakah Desa Sentajo ini kembali jadi desa adat karena dinobatkan sebagai cagar budaya, tentu jawabannya ada di kita semua. Bukan tidak mungkin desa ini kembali menjadi kenegerian," kata Milus.

Usai prosesi penjamuan, hanya beberapa langkah setelah keluar dari Rumah Godang Suku Caniago, kami tiba di Masjid Usang. Di sini, lagi-lagi kami takjub. Masyarakat Sentajo tampak begitu gigih mempertahankan ornamen sejak ratusan tahun silam.

Memasuki masjid, terlihat satu tiang besar penyangga rumah ibadah ini. Letaknya di tengah-tengah. Tiang besar itu dikelilingi pula oleh empat tiang. Dan empat tiang yang mengelilingi tiang utama itu pun dikelilingi beberapa tiang.

"Tiang utama melambangkan pucuk pimpinan atau pemerintahan di Kenegerian Sentajo dulunya. Tiang yang empat melambangkan keikutsertaan empat suku, Paliang, Melayu, Caniago dan Patopang membangun negeri. Tiang 16 lainnya yang mengelilingi melambangkan keikutsertaan Monti dan Dubalang masing-masing empat suku ini," kata salah seorang pemerhati adat di Sentajo, Madiusman.

Masjid ini sempat ditinggalkan masyarakat Sentajo. Namun kepercayaan yang melekat pada masyarakat membuat masjid tersebut kembali difungsikan. "Masjid sempat ditinggalkan. Pada saat itu, banyak wabah penyakit dan hasil panen tidak memuaskan sejak masjid itu ditinggalkan. Setelah dihuni atau difungsikan kembali pada tahun 1980-an barulah hasil panen bagus kembali. Wabah penyakit pun tak lagi ada," tambah pria asli Sentajo itu.

Sungguh, kearifan lokal yang tak tergerus zaman. Sentajo, inilah rumah, tempat ribuan orang-orang Rantau Kuantan pulang. Saksi sejarah peradaban masyarakat Kuantan Singingi. ***

1 Response to "Sentajo, Sensasi Dari Zaman Baheula"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2