Percakapan

Pernahkah kamu berfikir sesuatu ketika kamu berada di depan sebuah cermin? Atau sekedar bertanya, siapa aku ini? Apa yang sudah aku perbuat untuk kedua orang tuaku? Apa hal yang sudah aku lakukan untuk menyenangkan hati mereka? Akan menjadi apa aku setelah ini? Atau sekedar meluapkan keluh-kesah atau juga penyesalan atas dirimu? Coba bayangkan, seandainya bayanganmu di cermin itu berbicara padamu. Mengumpat, mencela dan membentakmu atas pertanyaan-pertanyan yang kamu lontarkan itu. Ya, dari sinilah percakapan itu dimulai.

Pagi ini aku sebenarnya ada jadwal kuliah. Kuliah? Oh Tuhan, mengapa harus kuliah? Aku sudah muak dengan celotehan dosen-dosen, bosan dengan tugas-tugas yang menumpuk setiap minggu. Ah, aku benar-benar bisa gila membayangkan tugas-tugas yang menumpuk, ruangan pengap dan celotehan dosen yang mirip deruan mesin-mesin pabrik. Belum lagi memikirkan keuangan yang menipis. Menipis? Bukankah keuanganku selalu menipis setiap hari? Tidak  peduli tanggal muda atau tanggal tua. Yah begitulah kenyataannya. Andai saja ayahku seorang pengusaha atau seorang pejabat. Tidak ada kuliah, tidak ada tugas-tugas, hidup hanya bersenang-senang menikmati harta jerih payah mereka. Alangkah indahnya.

“Dasar bodoh!”
“Siapa itu?” aku mencari-cari muasal suara itu, tapi aku tidak menemukan siapa pun. Bagaimana mungkin orang masuk ke kamarku tanpa sepengetahuanku dan mengataiku bodoh. Kamar? Apa pantas ruangan yang nyaris  kosong ini disebut sebuah kamar? Hanya ada tempat tidur dan sebuah cermin yang menghiasi dinding.

“Siapa yang kau cari anak muda? Aku di sini!”
“Hei dimana kamu? Lancang sekali masuk ke kamarku.”
“Aku sudah di sini semenjak kau menempati kamar ini, lihat ke cermin anak muda.”
“Bagaimana mungkin?”
“Apa yang kau pikirkan? Aku mendengar semua keluh kesahmu anak muda. Bagaimana mungkin kau berpikir serendah dan sebodoh itu? Kuliah saja yang benar, jangan berpikir yang aneh-aneh.”
   
Aku beranjak meninggalkan kamarku untuk menyantap sarapan yang telah disediakan, aku tidak peduli siapa yang menyediakan makanan mirip bubur itu, yang penting aku kenyang. Jika aku perhatikan, teman-temanku itu sangat beruntung. Selalu mendapat  kiriman yang melebihi kebutuhan kuliah mereka. Sedangkan  aku, tak banyak yang dapat aku harapkan dari orang tuaku. Aku heran melihat teman-temanku. Ada yang setelah mendapat kiriman dari kampung, lantas menggunakan uang kirimannya untuk clubbing, karaokean dan ada juga yang taruhan bermain Billiar. tapi yang menjadi paforit mereka adalah bermain domino. Kadang aku berpikir, jika saja aku dikirimi uang seperti mereka, pasti bisa aku tabung untuk kredit sepeda motor. Tidak perlu lagi aku capek-capek berjalan kaki untuk pergi kuliah. Tapi, apakah benar jika aku mendapat kiriman seperti mereka, lalu aku  menabung? Mungkin aku sama saja seperti mereka jika mendapatkan kiriman lebih. Hanya bersenang-senang.

Pernah suatu hari aku berkata pada Asrul, “Lebih baik uang kiriman yang lebih setiap bulannya itu ditabung, dari pada dihabiskan untuk clubbing dan segala macam setiap malam. Jika nanti ada sesuatu mendesak, kan bisa digunakan uangnya.” Namun ternyata pemikiran Asrul tidak sama denganku, lantas dia berkata “Ah, selagi ada uang Bro dan selagi kita masih muda. Nikmati dulu yang ada ini.”

Meski pun teman-temanku boros dalam mengelolah keuangan, mereka tidak pelit untuk berbagi. Terbukti saat aku tidak punya uang sama sekali untuk makan, ada saja dari mereka yang memberiku uang atau sebungkus nasi lengkap dengan lauknya. Aku sadar, dalam keadaan sulit yang kualami seperti ini, aku harus berinisiatif untuk mencari pekerjaan untuk mencukupi keuanganku. Sebenarnya aku malu harus dikasihani teman-temanku, tapi apa boleh buat.

Semua tempat aku melamar pekerjaan, menuntut waktu penuh untuk bekerja. Mana ada lagi waktuku untuk kuliah, sedangkan kuliahlah yang menjadi prioritas utamaku datang ke kota ini. Aku sering kali tertekan dengan keadaanku, bagaimana tidak? Kebutuhan untuk kuliah bukanlah kecil, belum lagi uang kost, dan yang paling penting adalah kebutuhan untuk makan. Sering aku makan hanya satu kali dalam sehari, belum lagi tugas-tugas yang menumpuk setiap minggu. Lagi-lagi harus mengeluarkan uang untuk print tugas-tugas itu. Tak jarang aku melamun, berhayal yang tidak mungkin rasanya aku dapatkan. Terkadang mengumpat pada diri sendiri. Ingin rasanya menyerah pada keadaan. Kadang membuatku frustasi jika memikirkan semua kerumitan dalam hidupku. Seandainya aku seperti mereka, mungkin keadaanku tidak menyedihkan seperti ini. Umpatan-umpatan itu selalu datang setiap hari.

“Hei anak muda.”
“Siapa?”
“Aku disini, jangan selalu berhayal. Itu hanya akan membuatmu gila.”
“Siapa kamu?”
“Kau pikir, siapa aku ini?”
“Dimana kamu?”
“Hei, aku di sini”

Aku membanting piring makananku, lalu menoleh ke kiri dan  ke kanan. Tidak ada seorang pun yang aku lihat berada di dekatku.
“Dasar gila,” gumamku kesal. Siapa sebenarnya orang aneh itu? Atau itu hanyalah ilusiku saja? Dasar aneh!
“Sudah selesai makannya Jon?”
“Sudah pak, ini habis semua”
“Bagus, sekarang minum obatnya. Setelah itu kita ke ruang rehabilitasi ya.”**

1 Response to "Percakapan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2