Bukit Huta Rimba si Kafir, Sejarah Panjang Negeri Pasir
Hawa segar udara perbukitan sangat terasa di pintu gerbang hutan raya yang berjarak sekitar lima kilometer dari Kota Pasir Pengarayan, Kabupaten Rokan Hulu, Provinsi Riau, Indonesia. ‘Huta Rimba Si Kafir’, begitu nama hutan alam yang masih kaya akan kayu bernilai tinggi ini disebut warga Desa Pawan, Kecamatan Rambah.
Bagi yang ingin masuk ke kawasan ini, akan dikenakan biaya Rp3.000 untuk dewasa dan Rp2.000 untuk anak-anak. Dengan menambah Rp50 ribu, anda akan ditemani seorang pemandu yang siap mengajak berkeliling di kawasan hutan seluas 6,5 hektare ini hingga setengah hari perjalanan. Di gerbang masuk, pengunjung akan disambut perbukitan mendaki berbentuk tangga menuju atas bukit dan menyuguhkan pemandangan alam hijau dan masih alami.
Empat petak kedai dari kayu dan satu musala di sampingnya, melayani pengunjung yang membutuhkan tempat istirahat setelah mendaki atau sekadar melepas lelah di sini dan tempat beribadah kepada-Nya. Sejumlah menu makanan dan minuman juga bisa dinikmati pengunjung di kedai ini.
Muhammad Ali, warga Desa Pawan yang juga juru kunci perbukitan, telah tinggal lebih dari 20 tahun di sini. Ia menjaga kebersihan dan merawat kawasan ini agar tidak rusak dan selalu nyaman didatangi pengunjung. Ia jugalah yang selalu menjelaskan sejarah singkat kawasan ini kepada tiap tamu yang datang berkunjung.
Kini Kawasan Bukit Huta Rimba si Kafir tak ramai lagi. Kedai yang ada di depan gerbang masuk, sudah ditinggal pemiliknya dan tak terawat. Pintu mushalla dibiarkan terbuka dan tidak ada air di kamar mandi. Semuanya terjadi setelah meninggalnya M Ali empat tahun lalu. Istrinya, Roslamiyah (49) atau yang akrab disapa Ros, yang melanjutkan tugasnya menjaga dan membersihkan hutan dari sampah yang ada. Ia juga menjelaskan kondisi kawasan ini.
“Pengunjung akan ramai di hari Minggu dan hari libur. Datangnya pagi dan sore sudah pulang,” tuturnya.
Pengunjung biasa datang bersama keluarga, pasangan, siswa sekolah atau rombongan dan juga mahasiswa yang sesekali berkemah di atas bukit dan sekitar goa. Rombongan luar daerah juga ada yang datang, kebanyakan dari Pekanbaru.
Dari penjelasan Ros, diketahui ada 22 goa yang sudah pernah dijumpai di kawasan Huta Rimba si Kafir. Beberapanya telah diberi nama, antara lain: Gua Mata Dewa, Gua Pelangi, Gua Lepong, Gua Penjara Bawah Tanah, Gua Batu Bergantung, Gua Batu Bulan, Gua Gasing, Gua Lorong Tupai, Gua Lorong Marmut, Gua Kelinci, dan Gua Lorong Tembus.
Kawasan ini sendiri mulai ramai didatangi masyarakat sejak 2001 lalu dan ditetapkan sebagai kawasan wisata oleh Pemerintah Kabupaten Rohul pada 2003.
Kini perhatian Pemkab atas hutan alam ini tidak ada lagi. “Kalau dulu memang ada, tapi sekarang sudah tidak ada lagi pemerintah datang ke sini,” curhat Ros.
Hingga sekarang, kawasan Huta Rimba si Kafir masih terasa nyaman dan teduh. Pohon alam berukuran raksasa juga masih terpancang dengan kokoh di sejumlah titik kawasan ini. Goa dengan hawa dingin dan lumut hijau alami juga masih dengan mudah bisa kita lihat di sepanjang perjalanan. Beberapa batu ukuran raksasa dan berbentuk kapal juga terdapat di tengah area hutan. Perbukitan terjal, penurunan dan tanaman merambat menambah kesan betapa kayanya Riau akan hutan alam.
Penamaan kawasan ini dengan sebutan Huta Rimba si Kafir sendiri bermula dari cerita turun temurun di kalangan masyarakat Desa Pawan yang disampaikan M Ali dulunya.
Untuk menjaga cerita tersebut sampai ke anak cucu, M Ali mewariskan ke istrinya. M Ali sudah menulis sejarah tersebut dan telah diketik rapi walaupun ejaan yang disempurnakan dalam bahasa Indonesia belum terlihat di tulisan itu.
Kami di sini selain menyaksikan keindahan goa juga menerima fotocopy tulisan alm M Ali. Dalam arsip sebanyak lima halaman, M Ali menceritakan asal mula penyebutan Huta Rimba si Kafir hingga saat ini.
Huta Rimba sendiri, berasal dari bahasa Mandailing artinya rumah dan hutan. Sedangkan “si Kafir” diambil dari sebutan seorang raja berdarah Tapanuli bernama Porkas. Menurut legendanya, Porkas mendirikan kerajaan di daerah yang diberi nama Pasir Pangarayan, sekarang Ibukota Kabupaten Rohul.
Kata Syahdan, seorang warga tempatan, kerajaan ini dikaruniai harta berlimpah berupa emas. Karena daerahnya memang kaya akan emas dari butiran pasir. Maka diberi nama Pasir Pangarayan, dalam bahasa Mandailing berarti mendulang pasir emas.
Sang raja yang sangat zalim, memerintahkan semua rakyatnya mendulang emas dan membayar upeti untuknya. Bagi yang tidak menuruti, akan dipenjara atau dihukum gantung. Rakyat yang teraniaya dan tidak mampu lagi menahan penderitaan akhirnya memohon kepada Tuhan agar dapat terbebas dari kekejaman raja dan pengikutnya.
Tampaknya Tuhan mengabulkan doa mereka. Akhirnya, datanglah badai dan hujan turun selebat-lebatnya hingga mengakibatkan banjir besar. Air bah pun akhirnya menenggelamkan kerajaan milik Porkas dan ia bersama pengikutnya melarikan diri ke hutan rimba.
Ringkas cerita, sebuah batu besar di Rimba Huta si Kafir dipercaya adalah sisa kapal raja yang ikut tenggelam. Tapi kisah ini sebagai cerita rakyat asal Kabupaten Rohul.
Kini memang tak ramai lagi yang datang ke kawasan Huta Rimba si Kafir. Padahal kawasan ini memiliki banyak keunggulan wisata alam yang tidak dimiliki daerah lainnya. Di antaranya ada aneka jenis pohon dengan nilai ekonomis tinggi, seperti kulim, rotan, kunyit, kuras, gambir, baharu, dan kayu putih. Belum lagi satwa liar yang masih bisa hidup bebas di daerah ini seperti badak, beruang, berbagai jenis burung dan juga monyet.
Tentu bila dikelola secara serius dan memiliki fasilitas mumpuni, bukan mustahil kawasan Huta Rimba si Kafir bisa menjadi destinasi wisata unggulan di Kabupaten Rohul di masa yang akan datang. Semoga!
Bagi yang ingin masuk ke kawasan ini, akan dikenakan biaya Rp3.000 untuk dewasa dan Rp2.000 untuk anak-anak. Dengan menambah Rp50 ribu, anda akan ditemani seorang pemandu yang siap mengajak berkeliling di kawasan hutan seluas 6,5 hektare ini hingga setengah hari perjalanan. Di gerbang masuk, pengunjung akan disambut perbukitan mendaki berbentuk tangga menuju atas bukit dan menyuguhkan pemandangan alam hijau dan masih alami.
Empat petak kedai dari kayu dan satu musala di sampingnya, melayani pengunjung yang membutuhkan tempat istirahat setelah mendaki atau sekadar melepas lelah di sini dan tempat beribadah kepada-Nya. Sejumlah menu makanan dan minuman juga bisa dinikmati pengunjung di kedai ini.
Muhammad Ali, warga Desa Pawan yang juga juru kunci perbukitan, telah tinggal lebih dari 20 tahun di sini. Ia menjaga kebersihan dan merawat kawasan ini agar tidak rusak dan selalu nyaman didatangi pengunjung. Ia jugalah yang selalu menjelaskan sejarah singkat kawasan ini kepada tiap tamu yang datang berkunjung.
Kini Kawasan Bukit Huta Rimba si Kafir tak ramai lagi. Kedai yang ada di depan gerbang masuk, sudah ditinggal pemiliknya dan tak terawat. Pintu mushalla dibiarkan terbuka dan tidak ada air di kamar mandi. Semuanya terjadi setelah meninggalnya M Ali empat tahun lalu. Istrinya, Roslamiyah (49) atau yang akrab disapa Ros, yang melanjutkan tugasnya menjaga dan membersihkan hutan dari sampah yang ada. Ia juga menjelaskan kondisi kawasan ini.
“Pengunjung akan ramai di hari Minggu dan hari libur. Datangnya pagi dan sore sudah pulang,” tuturnya.
Pengunjung biasa datang bersama keluarga, pasangan, siswa sekolah atau rombongan dan juga mahasiswa yang sesekali berkemah di atas bukit dan sekitar goa. Rombongan luar daerah juga ada yang datang, kebanyakan dari Pekanbaru.
Dari penjelasan Ros, diketahui ada 22 goa yang sudah pernah dijumpai di kawasan Huta Rimba si Kafir. Beberapanya telah diberi nama, antara lain: Gua Mata Dewa, Gua Pelangi, Gua Lepong, Gua Penjara Bawah Tanah, Gua Batu Bergantung, Gua Batu Bulan, Gua Gasing, Gua Lorong Tupai, Gua Lorong Marmut, Gua Kelinci, dan Gua Lorong Tembus.
Kawasan ini sendiri mulai ramai didatangi masyarakat sejak 2001 lalu dan ditetapkan sebagai kawasan wisata oleh Pemerintah Kabupaten Rohul pada 2003.
Kini perhatian Pemkab atas hutan alam ini tidak ada lagi. “Kalau dulu memang ada, tapi sekarang sudah tidak ada lagi pemerintah datang ke sini,” curhat Ros.
Hingga sekarang, kawasan Huta Rimba si Kafir masih terasa nyaman dan teduh. Pohon alam berukuran raksasa juga masih terpancang dengan kokoh di sejumlah titik kawasan ini. Goa dengan hawa dingin dan lumut hijau alami juga masih dengan mudah bisa kita lihat di sepanjang perjalanan. Beberapa batu ukuran raksasa dan berbentuk kapal juga terdapat di tengah area hutan. Perbukitan terjal, penurunan dan tanaman merambat menambah kesan betapa kayanya Riau akan hutan alam.
Penamaan kawasan ini dengan sebutan Huta Rimba si Kafir sendiri bermula dari cerita turun temurun di kalangan masyarakat Desa Pawan yang disampaikan M Ali dulunya.
Untuk menjaga cerita tersebut sampai ke anak cucu, M Ali mewariskan ke istrinya. M Ali sudah menulis sejarah tersebut dan telah diketik rapi walaupun ejaan yang disempurnakan dalam bahasa Indonesia belum terlihat di tulisan itu.
Kami di sini selain menyaksikan keindahan goa juga menerima fotocopy tulisan alm M Ali. Dalam arsip sebanyak lima halaman, M Ali menceritakan asal mula penyebutan Huta Rimba si Kafir hingga saat ini.
Huta Rimba sendiri, berasal dari bahasa Mandailing artinya rumah dan hutan. Sedangkan “si Kafir” diambil dari sebutan seorang raja berdarah Tapanuli bernama Porkas. Menurut legendanya, Porkas mendirikan kerajaan di daerah yang diberi nama Pasir Pangarayan, sekarang Ibukota Kabupaten Rohul.
Kata Syahdan, seorang warga tempatan, kerajaan ini dikaruniai harta berlimpah berupa emas. Karena daerahnya memang kaya akan emas dari butiran pasir. Maka diberi nama Pasir Pangarayan, dalam bahasa Mandailing berarti mendulang pasir emas.
Sang raja yang sangat zalim, memerintahkan semua rakyatnya mendulang emas dan membayar upeti untuknya. Bagi yang tidak menuruti, akan dipenjara atau dihukum gantung. Rakyat yang teraniaya dan tidak mampu lagi menahan penderitaan akhirnya memohon kepada Tuhan agar dapat terbebas dari kekejaman raja dan pengikutnya.
Tampaknya Tuhan mengabulkan doa mereka. Akhirnya, datanglah badai dan hujan turun selebat-lebatnya hingga mengakibatkan banjir besar. Air bah pun akhirnya menenggelamkan kerajaan milik Porkas dan ia bersama pengikutnya melarikan diri ke hutan rimba.
Ringkas cerita, sebuah batu besar di Rimba Huta si Kafir dipercaya adalah sisa kapal raja yang ikut tenggelam. Tapi kisah ini sebagai cerita rakyat asal Kabupaten Rohul.
Kini memang tak ramai lagi yang datang ke kawasan Huta Rimba si Kafir. Padahal kawasan ini memiliki banyak keunggulan wisata alam yang tidak dimiliki daerah lainnya. Di antaranya ada aneka jenis pohon dengan nilai ekonomis tinggi, seperti kulim, rotan, kunyit, kuras, gambir, baharu, dan kayu putih. Belum lagi satwa liar yang masih bisa hidup bebas di daerah ini seperti badak, beruang, berbagai jenis burung dan juga monyet.
Tentu bila dikelola secara serius dan memiliki fasilitas mumpuni, bukan mustahil kawasan Huta Rimba si Kafir bisa menjadi destinasi wisata unggulan di Kabupaten Rohul di masa yang akan datang. Semoga!
sumber: www.adirafacesofindonesia.com (Mukhtar)
0 Response to "Bukit Huta Rimba si Kafir, Sejarah Panjang Negeri Pasir"
Post a Comment