Belasan Tahun Warga Berebut Air dengan Perusahaan

Penulis: Delvi Adri

KABUPATEN Bengkalis termasuk daerah di Riau yang pernah mengalami kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) yang cukup hebat. Lokasinya, ada di empat desa di kecamatan Bukit Batu, yaitu Desa Tanjung Leban, Sepahat, Buruk Bakul dan Kampung Jawa. Wilayah terparah saat itu, tahun 2014 berada di Tanjung Leban, warga terpaksa mengungsi lantaran tempat itu tak lagi bisa ditinggali.

Karhutla di empat desa itu sendiri sudah terjadi lebih 10 tahun yang lalu. Tepatnya sejak beberapa perusahaan menguasai air di tanah rawa gambut di pesisir kabupaten Bengkalis tahun 2003 yang lalu. Di Tanjung Leban, Sepahat dan Buruk Bakul ada dua perusahaan, seperti PT BBHA dan PT SPM. Sementara di Kampung Jawa, ada PT SD yang menguasai air di lahan rawa gambut.

"Perusahaan mereka itu butuh agar tanaman yang mereka tanam tidak mati. Mereka menyekat air di atas, kami di bawah tentu mengalami kekeringan," kata Kepala Desa Tanjung Leban H Atim, saat United Nation Development Program (UNDP) Redd+ bersama awak media berkunjung, Jumat (20/11/2015) lalu.

Upaya negosiasi antara warga desa dan perusahaan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Tapi sayang, realisasi dan itikad baik perusahaan sampai kini tidak ada. Masyarakat Peduli Api (MPA) dengan 20 anggota yang dibentuk pun tidak bisa bekerja saat kebakaran lantaran air mengering di lahan milik warga.

"Sudah negosisasi dengan perusahaan, agar lahan kami ketika kemarau tidak kekeringan, kalau hujan tidak kebanjiran. Perusahaan mengiyakan saat diminta normalisasi kanal, namun sampai hari ini belum ada realisasi. Lahan disini mulai terbakar sejak 2004 lalu," ungkapnya.

Dampak sejak perusahaan itu masuk, sangat banyak dirasakan warga desa. Kehilangan mata pencarian lantaran tanaman di lahan mereka yang mayoritas ditanami sawit dan karet tak lagi bisa digarap karena mati kekeringan. Pada musim hujan pun, kondisi tidak lebih baik di empat desa itu.

Penyebabnya, sistim pengelolaan air di lahan rawa gambut perusahaan yang beroperasi di wilayah tersebut tidak baik. Atim menceritakan, sistim pengelolaan air di kanal perusahaan itu sangat buruk. Kanal-kanal yang dibangun perusahaan satu pun tidak memiliki pintu air sebagai pengendali debit air.

"Perusahaan itu, kalau butuh air, mereka menahan air, mereka tutup. Kalau mereka tidak butuh, mereka buang air. Maka kita akan tenggelam. Perusahaan tidak memiliki pintu pengendali air. Jadi sama saja musim kemaran dan musim hujan, warga saya kehilangan mata pencarian," paparnya saat dialog bersama di salah satu rumah warga.

Hal yang sama juga dialami tiga desa lainnya. Kondisi seperti inilah UNDP Redd+ merespon dan memberikan solusi bagi empat desa tersebut. Lembaga di bawah naungan Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) itu turun membantu membangun sekat kanal di empat desa tersebut. Terbukti, sekat kanal yang dibuat bersama warga desa ampuh menghindari terjadi karhutla di desa itu.

Sekat kanal yang dibangun itu berfungsi menahan memperlambat air mengalir dan terbuang ke laut. Aliran air di kanal dengan lebar 1,5 meter hingga 2 meter itu dipersempit dan diberi ruang aliran air sebesar setengah meter, sehingga saat kemarau, warga desa masih bisa bertani lantaran tanah gambut masih mengandung air.

"Terakhir kebakaran tahun 2014 lalu. Kebakaran pertengahan tahun 2015 ini kami tidak kena. Apa sebab? Karena sekat kanal itu mampu menahan air agar tetap membasahi lahan kami disini," kata Atim.

Di Tanjung Leban sendiri, saat ini sudah ada sembilan sekat kanal. Dengan total luas wilayah Tanjung Leban mencapai 2016 hektar, setidaknya butuh sekitar 200 sekat kanal. Usai dialog, Rombongan United Nation Development Program (UNDP) Redd+ dan awak media diajak seorang warga desa, Muhammad Nur untuk meninjau langsung sekat kanal yang telah dibangun. Lokasinya tidak jauh dari perkampungan.

"Sembilan sekat kanal yang kita buat, alhamdulillah semua berfungsi. Pembangunan sekat kanal tidak sembarangan, di atas kita buat tinggi, di bawah kita buat lebih rendah agar air tetap mengalir normal," kata Nur.

Usai meninjau sekat di desa Tanjung Lebung, kami bergerak ke tiga desa lainnya, seperti di desa Sepahat saat ini sudah ada 12 sekat kanal yang dibangun. Semua berfungsi agar lahan gambut tetap basah, sehingga kebakaran gambut akibat kekeringan tidak lagi terjadi. Sama halnya dengan desa Buruk Bakul, meski saat ini hanya ada satu sekat kanal, tapi itu cukup efektif.

"Baru ada satu. Kita kemaren sudah usulkan tiga. Untuk Buruk Bakul sendiri seharusnya butuh 10 sekat kanal," kata Sekretaris Desa (Sekdes) Buruk Bakul, M Yusuf.

Sementara di Kampung Jawa, saat ini sudah ada enam sekat kanal. Meski belum teruji melewati kebakaran, enam sekat kanal ini sudah memberikan manfaat positif bagi warga Kampung Jawa. "Sekat kanal di tempat kita masih baru. Tapi sejak ada sekat kanal, banyak manfaatnya, anak-anak bisa main air karena tidak kekeringan lagi. Di Kampung Jawa ada enam sekat kanal. Kalau disini 11 cukuplah," kata Koordinator Pembangunan Sekat Kanal, Syamsul Bahri saat berbincang.

Bahri menceritakan, sejak ekspansi PT Surya Dumai di Kampung Jawa, lahan gambut yang dulunya bisa ditanami sayur-sayuran, saat ini tidak lagi bisa ditanami. Warga pun banyak yang kehilangan mata pencarian. Lahan rawa gambut yang dulunya berlimpah air, perlahan mengering lantaran perusahaan menutup aliran air kanal demi menjaga eksistensi perusahaan.

"Banyak yang kehilangan mata pencarian. Dulu, 50 persen kebutuhan sayur di Bukit Batu berasal dari kampung jawa, sekarang tidak ada lagi. Banyak yang beralih menjadi buruh kasar," kata Bahri menjelaskan.

Manager Komunikasi dan Kerjasama UNDP Redd+, Ning Parlan saat berbincang mengatakan, program yang dijalankan sebenarnya merupakan program Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). UNDP Redd+ yang juga menggandeng akademisi, Pakar Gambut Universitas Riau (UR), Dr Haris Gunawan memfokuskan menangani Karhutla. "Oktober 2015 ini hingga Juli 2016 mendatang kami fokus menangani karhutla," sebutnya.

Untuk kasus kebakaran lahan di Indonesia sendiri, sebagus apa pun guguatan, tidak akan menang, karena hakim banyak yang tidak memiliki sertifikat lingkungan. Sehingga tidak mengerti masalah yang ada. Di indonesia sendiri, kata Ning tidak lebih dari 16 hakim yang memiliki pengetahuan soal lingkungan.

Maka, perlu ada kearifan lokal. Masyarakat yang berada di lahan rawan kebakaran lebih memahami kondisi lapangan. Sehingga pencegahan sebelum terjadi kebakaran bisa diatasi, salah satunya dengan membangun sekat-sekat kanal.

Pakar Gambut yang juga Kepala Pusat Studi Bencana UR, Dr Haris Gunawan yang juga hadir saat itu mengatakan, kebakaran hutan di Indonesia sudah terjadi sejak 32 tahun yang lalu. Kebakaran terjadi, memang lantaran lahan rawa gambut kekeringan.

"Kebakaran ini sudah 32 tahun terjadi di Indonesia. Tahun 1982/1983 sekitar 3,6 juta hektar hutan Kalimantan Timur terbakar. Tahu 1997/1998 sekitar 10 juta hektar lahan terbakar. Gambut keliru penyebutan selama ini. Seharusnya rawa gambut penyebutannya. Gambut tidak akan ada kalau tidak ada air. Nah lantaran pasokan air di rawa gambut habis, maka kebakaran mudah terjadi," paparnya.

Untuk itu, jalan satu-satunya agar lahan rawa gambut kembali normal seperti semula, lahan mesti harus diisi air. Salah satu upaya bisa dilakukan dengan membuat sekat kanal. "Harus dibasahi, kembalikan fungsi awalnya. Kuncinya air. Selain pertolongan Allah, kita bisa mengakali dengan membuat sekat-sekat, asal sumber air ada," jelasnya.**

1 Response to "Belasan Tahun Warga Berebut Air dengan Perusahaan"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2