Lelaki Pembawa Api

oh kasih...
jiwaku terbang entah kemana
kau dimana?
mari bangun istana kita

oh kasihku...
bila malam datang
aku merindu


Begitulah Ia melantunkan syair berulang-ulang, seakan menggambarkan kisah cintanya yang telah usang dimakan waktu. Syair yang sama sampai akhir ajal memanggilnya. Tahukah kamu kisah cinta sepasang kekasih yang direnggut kematian? Mampukah kamu bayangkan bila kekasihmu dijemput ajal saat rasa cintamu berbunga mekar? Aku pun ngeri!
          
***
Aku menatap almanak kusam yang sengaja kucetak pada tembok usang di kamar ini. Kamar? Ya, begitulah aku menyebut ruangan bau tengik ini. Meski setiap hari aku menambah angka-angka pada almanak, untuk selalu mengingatkanku sudah berapa lama aku berada disini, aku tetap saja tidak ingat entah sudah berapa lama aku disini. Aku menghela nafas dan mencoba mengingat kembali kejadian itu. “Hufff!” entah sudah berapa lama, aku pun tak ingat.

Malam, sunyi, tak berbintang-berbulan, aku asyik sendiri mengintip-intip, mendengarkan percakapan antara ibu dan anak itu. Dengan sebilah tombak yang selalu kubawa ke mana pun pergi, aku menyungkit sela-sela sekat anyaman bambu dinding rumah mereka, agar aku lebih leluasa memperhatikan ibu dan anak itu. Mak Isa, perempuan paruh baya yang bekerja sebagai buruh cuci di kampungku, memang gemar bercerita untuk pengantar tidur anaknya yang berumur tak lebih dari sepuluh tahun itu. Kadang ia bercerita hal mistik di kampung, dengan harapan anaknya yang memang susah tidur, takut dan segera tidur.

Mak Isa mulai bercerita tentang kisah cinta sepasang kekasih yang direnggut kematian. Aku mulai menempelkan kepala pada sekat bilik rumah mereka. Setiap kali Mak Isa menceritakan kisah itu, dadaku sesak, seperti api berkobar-kobar membakar.

“Nak, kau akan tumbuh dewasa. Maukah kau nak, ibu ceritakan kisah lelaki buta yang setiap hari kau dengar lantunan syair darinya?”

“Mak, mengapa lelaki itu selalu saja menyanyikan syair itu berulang-ulang?” Mak Isa menatap wajah penuh tanya bocah itu.

“Sani, nama kekasih lelaki buta itu.” Mak Isa mulai bercerita lembar demi lembar kisah  yang sudah menjadi rahasia umum di kampungku. “Sani adalah gadis cantik yang menjadi rebutan pemuda-pemuda kampung kita. Tak satu pun pemuda di kampung ini bisa mendapatkan hatinya, senyum perempuan itu sangat ramah, berperangai elok, sopan terhadap semua warga.” Mak Isa terdengar sedih, dan aku terus saja mendengarkan percakapan ibu dan anak itu dari balik sekat bilik rumah mereka.

“Lalu mak, apa hubungan Sani dengan lelaki buta itu mak?” Mak Isa melempar secuil senyum kepada bocah itu.

Aku hafal betul gerak-gerik Sani, hampir setiap hari aku menyibukkan diri hanya untuk memperhatikan apa saja yang dikerjakannya. Kamu tahu mengapa? Ya, karena aku pun sangat mengaguminya. Berkali-kali aku mengungkapkan rasa di hatiku pada Sani, berkali-kali pula aku kecewa olehnya. Tak jarang aku berhayal menjadi pendamping hidupnya, berhayal Ia melayani kebutuhanku. “Oh Sani Aku rindu.”

Bocah itu terus saja menyerang ibunya dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin beribu tanya di benaknya.

“Lelaki itu datang dari negeri seberang dengan membawa sejuta harapan kehidupan yang ia cari di kampung kita.” Mak Isa berhenti sejenak, dan kembali melanjutkan kisah sepasang kekasih malang itu. 

“Tuhan mempertemukan mereka, Tuhan juga menanam benih-benih cinta di antara mereka.” Air mata Mak Isa tak dapat lagi dibendung. Seperti butiran kristal berkilau memantulkan cahaya lampu minyak penerangan gubung yang hampir rubuh itu.

Mungkin aku tidak akan pernah lupa pada lelaki yang merebut hati Sani. Semenjak kedatangannya di kampungku, semua hari-hari yang kulalui terasa membosankan, setiap kali aku melihat kebersamaan mereka, ingin rasanya aku merobek-robek perut mereka. Bagaimana tidak? Sani, gadis cantik yang kudamba-dambakan begitu saja didapatkan oleh lelaki buta itu.

Mata lugu bocah itu terus saja memandangi kesedihan ibunya. “Mak, mengapa Mak menangis?” apa yang terjadi dengan mereka Mak?” Pertanyaan-pertanyaan yang dilemparkan bocah itu membuat api di dadaku semakin berkobar.

“Mereka saling menyayangi, namun banyak pemuda di kampung kita yang tidak suka dengan kebahagiaan mereka.” Aku semakin dalam mendengarkan perbincangan mereka seiring sejuk malam yang berhembus, namun tak mampu sejukkan api yang berkobar di dadaku.

“Suatu malam, di malam perkawinan mereka. Seseorang begitu kejam merenggut semua kebahagiaan mereka.”
Aku pun begitu ingat dengan apa yang diceritakan Mak Isa, warga kampung heboh, polisi tersebar di mana-mana pada malam itu, raungan sirine mobil patroli sangat jelas mengisi rongga telingaku.

“Malam itu, warga kampung heboh, Sani dibunuh dengan tidak manusiawi. Sedangkan lelaki itu ditemukan dalam keadaan hidup dengan wajah yang bersimbah darah dari matanya yang robek.” Mak Isa benar-benar tak lagi bisa menahan tangisnya, dan memeluk bocah itu.

“Lalu Mak, siapa orang yang berbuat sekejam itu?” mendengar pertanyaan yang keluar bertubi-tubi dari mulut bocah itu,  api di dadaku terus saja berkobar membakar tubuhku, aku menghujamkan sebilah tombak yang dari tadi aku genggam tepat di lehernya. Jeritan Mak Isa pecah, memecah sunyi seantero kampung. Aku berlalu begitu saja dengan membawa api yang tersisa di dadaku.

***
Lalu, bagaimana kisah Lelaki buta itu? Ya, belum terhapus dari ingatanku, kejadian yang mengubah kehidupannya. Meracau, berlari, bernyanyi di sepanjang jalan, dan tertawa. Jika malam tiba, Ia selalu melantunkan syair itu berulang-ulang sampai Ia pulas dalam buaian mimpi-mimpinya, pun sampai akhir ajal menjemputnya.

oh kasih...
jiwaku terbang entah kemana
kau dimana?
mari bangun istana kita

oh kasihku...
bila malam datang
aku merindu


Begitulah Ia melantunkan syair berulang-ulang, mungkin mengenang kisah cintanya yang terampas kematian, mungkin juga karena kerinduannya pada gadis cantik itu. Tahukah kamu? Akulah pembunuh kekasihnya itu.**

1 Response to "Lelaki Pembawa Api"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2