Harimau

“Sani… Sani… Mengapa adikmu belum pulang juga? Hari sudah malam nak, mak cemas kalau hal buruk menimpa adikmu.” mak Untung tampak gelisah, karena si bungsu belum juga pulang.

“Mak tenang dulu, mungkin Edi mampir dulu di pondok pak Anwar.” Sani menenangkan.

“Hati mak tak tenang nak sebelum adikmu pulang, tadi dia pamit kehutan untuk mencari durian bersama Daus. Katanya akan pulang sebelum maghrib, tapi sampai sekarang belum juga pulang. Coba kau ke rumah mak Siti, tanyakan apa Daus sudah pulang?”

Jarum jam yang terletak di pojok kanan jendela ruang keluarga rumah mak Untung sudah menunjukkan pukul delapan malam, mak Untung tampak gelisah, mondar-mandir, sebentar-sebentar keluar harap-harap anaknya pulang. Dari kejauhan mak Untung melihat wanita tua yang mungkin sebaya dengannya, seolah-olah wanita itu juga merasakan kegundahan hati mak untung.

“Mak Untung… mak Untung, apa Edi sudah pulang?” Mak Siti tampak panik, cemas dan terus memikirkan apa yang terjadi pada Daus anaknya. Kadang telintas di benaknya, kalau-kalau Daus dimangsa binatang buas di hutan.

“Edi belum pulang, saya sangat mencemaskan dia, dari pagi dia pergi sampai sekarang belum juga pulang.” Mak Untung tidak lagi bisa membendung air matanya. Kadang juga terlintas di benaknya, Edi dimangsa binatang buas.

“Ada apa mak?” pak Anwar meletakkan beban yang dibawanya dari ladang.

“Edi, apa Edi dan Daus tadi mampir ke pondok?” Mak Untung tak henti-hentinya menangis, begitu juga mak Siti.

“Saya khawatir, jangan-jangan mereka dimangsa binatang buas Pak.” Mak Siti menatap pak Anwar  penuh kesedihan.

“Saya tidak melihat mereka di pondok, mak tenang dulu. Mungkin mereka Cuma tersesat di hutan.” Pak Anwar berusaha menenangkan mak Untung dan mak Siti.

“Begini saja, saya akan mengumpulkan orang-orang kampung untuk mencari mereka, mak Untung dan mak Siti persiapkan lampu ¹Strongkeng untuk penerangan nanti.”

“Iya pak,” mak Untung dan mak Siti tampak sedikit tenang, lega, dan berharap anak mereka segera ditemukan.


**
Krak... krak... dari arah depan terdengar suara ranting patah, seperti ada yang menginjaknya.

“Apa itu Di?” Daus tampak ketakutan, namun mereka terus berjalan membawa beban buah durian yang mereka dapatkan. Dengan hanya mengandalkan filling dan penerangan cahaya bulan, mereka terus menelusuri hutan. Sekali lagi Daus mendengar suara ranting patah dan Ia merasa seperti ada yang mengikuti mereka.

“Di, kau dengar itu?” Daus tampak semakin ketakutan.

“Iya aku dengar, kau tenang saja kita akan sampai ke kampung secepatnya.” Edi mencoba menenangkan Daus, dan mereka terus melanjutkan perjalanan.

Dalam hening malam itu, samar-samar mereka mendengar seperti suara orang memanggil, mereka terus mencari asal suara itu.

“Suaranya semakin dekat Di, ayo cepat mungkin itu suara orang kampung yang mencari kita.” Daus tampak bersemangat, kakinya semakin cepat melangkah. Tiba-tiba sesuatu yang sangat besar melompat dari arah kiri mereka.

“Kau lihat itu Di? ayo lari... lari Di.” Daus tampak sangat ketakutan, keringat dingin mengucur membasahi kaos abu-abu yang dikenakannya, begitu juga Edi tampak pucat setelah apa yang dilihatnya, mereka menjatuhkan semua beban yang mereka bawa, lalu mengambil langkah seribu.

“Aum... Aum...!!” seketika malam berubah kelam, sepi, senyap.


**
Malam semakin larut, cahaya bulan tampak samar-samar di balik kabut yang mulai turun menyelimuti malam, sesekali terdengar pula seruan burung hantu bernyanyi.

“Edi... Daus... Berkali-kali rombongan orang kampung memanggil, namun tak ada jawaban. Rombongan terus menelusuri hutan dengan penerangan lampu ¹Strongkeng.

“Daus... Edi dimana kalian nak?” sesekali juga terdengar mak Untung dan mak Siti memanggil-manggil anak mereka.

“Lihat itu, apa itu milik mereka?” pak Anwar mendekati buah durian yang berserakan di tanah lengkap dengan ransel buatan dari karung beras yang biasa digunakan masyarakat desa Batu Satu untuk membawa beban keluar-masuk hutan.

“Edi… dimana kau nak?” mak Untung tak henti-hentinya menangis melihat ransel milik Edi, begitu juga mak Siti terus memanggil anaknya Daus, tapi tak sedikit pun sahutan dari mereka.

“Iya, itu ransel Edi tapi kemana mereka?” Sani mengambil ransel milik Edi.

“Apa mereka dimangsa binatang buas?” teriak seorang warga yang ikut dalam rombongan itu. Mendengar itu, tangisan mak Untung dan mak Siti semakin menjadi-jadi. Mereka membayangkan tubuh anak mereka dicabik-cabik binatang buas.

“Tapi, kalau dimangsa binatang buas, pasti ada jejak darah,” kata seorang warga lainnya.

“Mak Untung dan mak Siti tenang dulu, kita sama-sama berdoa mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa dan segera menemukan mereka.” Pak Anwar mencoba menenangkan mak Untung dan mak Siti.

“Iya mak, mak tenang dulu. Kalau mereka dimangsa binatang buas pasti ada darah berceceran di sekitar sini, tapi tidak ada sedikitpun darah disini. Mak tenang dulu, semoga mereka baik-baik saja.” Sani berusaha menenangkan Ibunya.

“Bapak-bapak ayo kita lanjutkan pencarian,” seru pak Anwar mengomandoi rombongan.

Kabut semakin tebal menyelimuti malam, udara sejuk sudah mulai terasa menusuk hingga ke tulang. Namun itu tidak membuat pencarian malam itu terhenti. Rombongan terus berjalan di tengah dinginnya udara malam. Menjelang fajar tiba, rombongan sampai di perbatasan wilayah kampung tetangga yang jaraknya lumayan jauh, disana rombongan menemukan Edi dan Daus di salah satu pondok ladang milik seorang warga kampung tetangga dalam keadaan selamat.

Daus yang masih trauma menceritakan kejadian yang menimpa mereka di hutan. Namun, pak Anwar menyadari sosok harimau yang dilihat Edi dan Daus adalah jelmaan Ayah Edi yang wafat saat Edi masih dalam kandungan. Pak Anwar tau persis, jelmaan abang kandungnya itu hanya ingin membantu Edi dan Daus menunjukkan jalan keluar dari hutan.**

1 Response to "Harimau"

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2